SILATURRAHMI SRI MANGKU ALAM II

Kunjungan Silaturrahmi Sri Mangku Alam II di Pombewe

RAPAT DEWAN ADAT

Selesai Pelaksanaan Rapat di Rumah Ketua Dewan Adat Kab. Sigi, di Kaleke.

KUNJUNGAN RAJA BUOL

Kunjungan Silaturrahmi Raja Buol dengan Dewan Adat Kab. Sigi.

SILATURRAHMI DI RUMAH BUPATI SIGI

Kunjungan Silaturrahmi Pengurus Dewan Adat Kab. Sigi di Rumah Bupati Sigi ...

LIBU POTANGARA

Salah Satu Tugas Dewan Adat Kabupaten adalah menyelesaikan perkara yang tidak terselesaikan ditingkat bawah ....

SILATURRAHMI RAJA BUOL

Kunjungan Silaturrahmi Raja Buol di Kantor Bupati Sigi

FESTIFAL DANAU LINDU

Pelaksanaan Libu Mbaso Dewan Adat Kabupaten Sigi bersamaan Festifal Danau Lindu.

PENGURUS INTI DEWAN ADAT KAB. SIGI

Foto Bersama, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, dan Wakil Wandahara.

PELANTIKAN MAJELIS ADAT KECAMATAN

Pelantikan Pengurus Majelis Adat Kecamatan oleh Ketua Dewan Adat Kab. Sigi ...

LIBU POSAMPESUVU MAROSO

Mediasi Perselisihan Warga Desa Rarampadende dan Desa Pesaku ....

Kamis, 10 Juli 2025

Identitas “Tidak” dan Keragaman Dialek dalam Rumpun Etnik Asal Tanah Kaili

 

Masyarakat Raranggonau sedang menunjukkan wilayah adatnya

Pria berusia sekitar 60 tahunan yang berbaju kotak abu-abu itu tiba-tiba berujar “Aaa, ledo, ledo…”saat menimpali lawan bicara yang duduk di seberangnya. Beberapa kali terdengar ulangan kata yang sama yaitu, ledo yang ternyata bermakna “tidak”. Seperti hampir di seluruh rumpun etnik Kaili, rumpun etnik Kaili Ledo juga menggunakan sebutan lokal untuk kata “tidak” sebagai identitas “nama” dari Masyarakat yang berasal dari Ngata Raranggonau itu. Ricu nama pria itu, mengatakan bahwa memang penyebutan lokal untuk kata “tidak” dijadikan sebagai penamaan rumpun etnik Kaili yang tersebar di tanah Sulawesi Tengah seperti rumpun Kaili Ledo, rumpun Kaili Rai, rumpun Kaili Ija, rumpun Kaili Da’a, dan seterusnya.

 

Joisman Tanduru, Kepala BRWA Sulawesi Tengah mengatakan bahwa kata “Kaili” pada dasarnya merupakan sebutan bagi masyarakat yang berasal dari pegunungan dan pesisir di wilayah Sulawesi Tengah, sedangkan untuk mengidentifikasi rumpun masyarakat yang beragam digunakan identitas bahasa dengan penyebutan lokal untuk kata “tidak” sebagai nama rumpunnya. Oleh karena itu, penyebutan masyarakat Kaili seringkali diikuti dengan identitas dialek yang dipakainya misalnya, orang-orang Da’a dengan dialek Da’a, orang-orang Ledo dengan dialek Ledo, dan sebagainya. Tidak diketahui secara pasti mengapa kata “tidak” menjadi simbol dari penamaan rumpun-rumpun etnik Kaili. Hanya, jika sedang berbaur dengan masyarakat etnik Kaili memang ujaran “tidak” dalam bahasa lokal itu sering terdengar sehingga terasa familiar.

 

Masaria, Totua Ngata dari masyarakat Kaili yang bermukim di Desa Wisolo dalam sebuah musyawarah juga menggunakan dialek mereka yaitu “Inde” yang berarti “tidak” untuk menyebut masyarakat adatnya. Namun, Masaria dan beberapa tokoh adat lain juga menggunakan unsur bahasa lain sebagai identitas tambahan untuk membedakan mereka dengan orang-orang Inde di wilayah lain. Ia bertutur bahwa orang-orang Inde di Wisolo masih menganut “dialek lama” dari rumpun Kaili Inde yang menggunakan huruf “G” untuk mengganti beberapa kata yang mengandung huruf “R”. “Iya, Inde di sini itu adalah ‘Inde Gia’, bukan ‘Inde Ria’, ada juga itu ‘Kaili Inde Ria’ di Desa lain,” ujarnya yang diamini oleh anggota masyarakat yang lain saat proses verifikasi data sosial BRWA berlangsung di Baruga Wisolo, Jum’at malam 27 April 2018. Hal itu menunjukkan adanya unsur lain dari sebuah struktur dialek yang digunakan untuk mengidentifikasikan sebuah Masyarakat Adat di Tanah Kaili.

 

Kekhasan yang sama juga ditemukan saat proses Verifikasi di Desa Pandere, orang-orang Ado di sana masih menggunakan huruf “H” untuk mengganti huruf ”R” di beberapa kata. Seperti misal kata “Pandere” yang mereka (Orang-orang Ado) sebutkan dengan lisannya menjadi “Pandehe”. Perbedaannya, jika orang-orang Inde di Desa Wisolo memutuskan untuk menggunakan unsur “Gia” sebagai identitas dalam nama rumpun etnik mereka, sedangkan orang-orang Ado di Desa Pandere tidak.

 

Selain kata “tidak” dan huruf ganti “R”, hal yang menarik dari sejarah perkembangan bahasa Kaili di Sulawesi Tengah juga terlihat dari intonasi bicara. Intonasi bicara itu digambarkan dalam cara bertutur “yang halus” dan “yang kasar”. Jika intonasi pengucapan lisannya berlangsung pelan dan mendayu-dayu maka dinamakan penuturan “halus”, sedangkan jika intonasi tuturannya berlangsung dengan cepat dan lugas maka termasuk ke dalam kategori “kasar”. Belum jelas dari mana atau sejak kapan konsep kasar dan halus itu muncul di beberapa wilayah adat. Apakah karena tranformasi kependudukan yang sudah berbaur dengan suku-suku lain atau oleh karena perkembangan zaman. Beberapa orang yang berusia lanjut seperti Pak Ricu di Ngata Raranggonau dan banyak dari orang-orang Da’a di Ngata Ona masih bertutur dengan halus, pelan, dan mendayu-dayu (berirama). Kekayaan bahasa dan cara bertutur orang-orang Kaili telah membentuk rumpun-rumpun etnik yang beragam dengan perbedaan sebutan lokal untuk kata “tidak” sebagai identitas utamanya. Apakah kemunculan bahasa dan dialek yang beragam itu ada hubungannya dengan identitas budaya mereka di masa lalu yang hidup dengan cara berburu, ladang berpindah, dan bermukim tersebar-sebar di gunung-gunung, hutan-hutan, serta dataran-dataran yang mengikuti aliran sungai? Suatu hal yang menarik untuk ditelisik lebih dalam!

 Sumber : BRWA

Rabu, 09 Juli 2025

Peninjauan Lokasi Sekretariat Dewan Adat Kabupaten Sigi.

 

Peninjauan Lokasi Sekretariat Dewan Adat Kabupaten Sigi.

Oleh : SADRI Datupamusu


Hari ini, Dewan Adat Kabupaten Sigi bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi melalui Kepala Bagian Pemerintah Sekretariat Daerah Kabupaten Sigi melaksanakan peninjauan langsung ke lokasi rencana pembangunan Sekretariat Dewan Adat Kabupaten Sigi yang berlokasi di Huntap Pombewe.


Peninjauan ini merupakan langkah awal yang penting dalam proses pembangunan, guna memastikan kesiapan lahan dan kesesuaian teknis pembangunan yang akan dilaksanakan. Kehadiran Pemerintah Daerah menunjukkan komitmen bersama dalam mendukung eksistensi dan peran strategis Dewan Adat dalam menjaga nilai-nilai budaya, adat istiadat, serta harmoni sosial masyarakat Sigi.

Semoga pembangunan Sekretariat ini dapat berjalan lancar dan menjadi pusat aktivitas adat yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat Kabupaten Sigi.


Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Adat Kabupaten Sigi, Drs. H. Aries Singi, M.Si, dan unsur Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Maman, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Sigi.

Lokasi yang ditinjau memiliki luas 35 x 120 meter, terletak strategis tepat di belakang Kampus UIN Datokarama Sigi. Peninjauan ini bertujuan untuk memastikan kesiapan lahan serta mendiskusikan aspek teknis dan strategis dari pembangunan sekretariat yang nantinya akan menjadi pusat kegiatan adat di Kabupaten Sigi.

Dalam kesempatan tersebut, Maman menyampaikan bahwa pemerintah daerah juga mempertimbangkan alternatif lokasi lain, yakni di samping Gedung Kesenian Sigi yang berada di kawasan Taman Tai Ganja, Kalukubula. Alternatif ini dinilai memiliki potensi akses dan integrasi yang baik dengan fasilitas kebudayaan yang telah ada.

“Pemerintah Kabupaten Sigi tetap mendukung penuh pembangunan Sekretariat Dewan Adat ini. Lokasi di Huntap Pombewe sangat representatif, namun kita juga membuka opsi di kawasan Taman Tai Ganja Kalukubula demi memaksimalkan fungsi dan sinergi antarlembaga kebudayaan,” ujar Maman.

Pembangunan sekretariat ini diharapkan dapat memperkuat peran Dewan Adat dalam menjaga nilai-nilai budaya, melestarikan kearifan lokal, serta menjadi simbol harmonisasi adat dan pemerintahan di Sigi.


Selasa, 24 Juni 2025

Peringati HUT Pemkab Sigi Ke-17

 


Laporan Wartawan Tribunpalu.com, Andika Satria Bharata

TRIBUNPALU.COM, SIGI - Pemerintah Kabupaten Sigi menggelar upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-17 di halaman Kantor Bupati Sigi, Desa Bora, Kecamatan Sigi Kota, Selasa (24/6/2025).

Upacara tersebut menjadi momen reflektif atas perjalanan pembangunan sejak Kabupaten Sigi resmi dimekarkan.

Dalam amanatnya, Bupati Sigi Mohammad Rizal Intjenae menyampaikan bahwa peringatan hari jadi ini harus dimaknai sebagai waktu untuk introspeksi, sekaligus menumbuhkan semangat baru dalam pembangunan daerah.

“Hari ini, tepat 17 tahun Kabupaten Sigi berdiri. Ini adalah waktu yang tepat untuk melangkah pasti menuju kesejahteraan yang dicita-citakan,” kata Bupati Rizal.

Ia menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam menata diri dan terus bekerja keras demi mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat Sigi.

 “Kita perlu terus mengevaluasi dan berbenah agar mampu menghadirkan perubahan yang lebih baik bagi Kabupaten Sigi,” ujarnya.

Bupati Rizal juga mengingatkan bahwa Kabupaten Sigi merupakan amanah besar yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan.

“Kabupaten Sigi adalah bagian kecil dari anugerah Tuhan. Ini tanggung jawab besar, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat,” tegasnya.

Ia turut mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mendukung pembangunan.

 “Saya bersama Wakil Bupati, Samuel Yansen Pongi, mengajak seluruh masyarakat bergandengan tangan mewujudkan cita-cita bersama demi Sigi yang lebih maju dan sejahtera,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Bupati juga menyampaikan apresiasi kepada para pemimpin terdahulu yang telah meletakkan fondasi awal pembangunan Kabupaten Sigi.

“Kami berterima kasih atas jasa dan dedikasi para pemimpin sebelumnya. Fondasi yang mereka bangun sangat bermanfaat hingga hari ini,” tuturnya.

Upacara tersebut turut dihadiri Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada seluruh masyarakat Sigi.

“Saya akan mendukung sepenuhnya program-program Bupati Sigi. Apalagi visi kami telah diselaraskan. Visi ‘9 Berani’ dari Pemerintah Provinsi sejalan dengan visi pembangunan Kabupaten Sigi,” kata Gubernur Anwar.

Ia menambahkan, sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten sangat penting dalam mempercepat pembangunan daerah.



Sumber : TRIBUNPALU.COM

Minggu, 22 Juni 2025

Tiga Sistem Hukum di Indonesia

 


Tiga Sistem Hukum di Indonesia

Dalam sistem hukum Indonesia, adat dan agama memainkan peran penting bersama dengan hukum nasional. Berikut adalah penjelasan mengenai bagaimana ketiga sistem hukum ini berinteraksi:

 

Hukum Adat (Hukum Adat):

Definisi: Hukum adat adalah hukum yang didasarkan pada kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, seperti perkawinan, warisan, dan hak atas tanah1.

Pengakuan Konstitusional: Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka, selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penerapan: Hukum adat diterapkan terutama dalam komunitas adat dan digunakan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsensus dan mediasi.

Hukum Agama (Hukum Agama):

Definisi: Hukum agama di Indonesia terutama merujuk pada hukum Islam (Syariah), yang mengatur masalah pribadi dan keluarga bagi umat Islam, seperti perkawinan, perceraian, dan warisan.

Pengakuan Konstitusional: Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan kewajiban negara untuk melindungi praktik keagamaan.

Penerapan: Pengadilan agama (Pengadilan Agama) menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum Islam. Komunitas agama lain juga mengikuti hukum agama mereka masing-masing untuk masalah pribadi.

Hukum Nasional (Hukum Nasional):

Definisi: Hukum nasional terdiri dari sistem hukum formal yang ditetapkan oleh negara, termasuk konstitusi, undang-undang, dan peraturan.

Dasar Konstitusional: UUD 1945 berfungsi sebagai hukum tertinggi di Indonesia, memberikan dasar bagi semua legislasi nasional.

Penerapan: Hukum nasional diterapkan secara seragam di seluruh negara dan mencakup berbagai bidang, termasuk hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi3.

Ketiga sistem hukum ini berinteraksi dan saling melengkapi dalam kerangka hukum Indonesia yang pluralistik, memungkinkan pendekatan yang beragam dan inklusif terhadap pemerintahan dan keadilan.

ADAT itu BESAR, Sebesar NEGARA

 


ADAT itu BESAR, Sebesar NEGARA

Hukum adat diakui dan dihormati dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) melalui beberapa pasal penting. Berikut adalah beberapa poin utama mengenai kehadiran hukum adat dalam UUD 1945:

Pasal 18B Ayat (2): Pasal inimenyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Ini berarti hukum adat diakui selama masih relevan dan tidak bertentangan dengan hukum nasional.

Pasal 32: Pasal ini menegaskanbahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian darikekayaan budaya Indonesia. Ini mencakup juga adat istiadat dan tradisi yang merupakan bagian integral dari hukum adat.

Pengakuan dan Perlindungan: UUD 1945 memberikan dasar konstitusional untuk pengakuan dan perlindungan hukum adat. Ini mencakup hak-hak tradisional masyarakat adat yang harus dihormati dandilindungi oleh negara.

Dengan adanya pasal-pasal ini, UUD 1945 memberikan landasan hukum yang kuat untuk keberadaan dan pelestarian hukum adat di Indonesia.


HUKUM NASIONAL Berbasis KEARIFAN LOKAL

Krisis Identitas Hukum Nasional

Pasca proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mewarisi sebuah sistem hukum yang pluralistik, namun didominasi oleh kerangka hukum peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu, diskursus mengenai identitas sejati sistem hukum nasional Indonesia terus bergulir tanpa henti. Ketidakpuasan terhadap keberlanjutan penerapan hukum warisan kolonial menjadi tema sentral dalam perdebatan ini. Banyak kalangan menilai bahwa sistem hukum peninggalan penjajah, yang notabene dibentuk untuk melayani kepentingan kolonialisme, tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai fundamental, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Kritik utama yang sering mengemuka adalah karakter hukum warisan Belanda yang cenderung sekuler dan individualistik. Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek – BW) dan Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht – WvS) yang menjadi pilar utama sistem hukum warisan tersebut, dibangun di atas fondasi filsafat hukum Eropa Kontinental yang menekankan pada kepastian hukum tertulis, hak-hak individu, dan pemisahan tegas antara hukum dan moralitas atau agama. Karakteristik ini dianggap bertentangan secara diametral dengan jiwa Pancasila, khususnya Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menempatkan nilai-nilai religius sebagai fondasi spiritual bangsa. Selain itu, sifat individualistik hukum Barat juga dinilai berseberangan dengan karakter asli masyarakat Indonesia yang komunal, mengedepankan gotong royong, musyawarah, dan harmoni sosial.

Lebih jauh, keberlanjutan penerapan hukum yang ‘dipinjam’ dari Belanda ini dituding telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Sistem hukum yang asing dari akar budayanya sendiri ini dianggap telah menciptakan semacam ‘kekacauan’ dan disorientasi nilai dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu manifestasi yang paling meresahkan dari krisis ini, sebagaimana sering disuarakan, adalah munculnya fenomena kepemimpinan di berbagai tingkatan yang seolah tercerabut dari akar budayanya. Lahirnya pemimpin-pemimpin yang dianggap “tidak beradat” – yakni tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti musyawarah, kerukunan, dan tanggung jawab komunal – serta “tidak beragama” – dalam arti mengabaikan landasan moralitas spiritual dalam menjalankan amanah kepemimpinan – menjadi keprihatinan mendalam. Hilangnya pegangan pada nilai-nilai harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dalam praktik kepemimpinan dan penyelenggaraan negara dilihat sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem hukum yang tidak berakar pada kearifan lokal dan spiritualitas bangsa.

Krisis hukum nasional yang dihadapi Indonesia, dengan demikian, bukanlah sekadar persoalan teknis yuridis mengenai hukum mana yang seharusnya berlaku. Lebih fundamental, ia merupakan sebuah krisis identitas dan nilai. Ketidakpuasan yang meluas terhadap hukum warisan Belanda sejatinya berakar pada benturan fundamental antara sistem nilai yang diusungnya (sekuler-individualistik) dengan sistem nilai yang hidup dalam sanubari bangsa Indonesia (religius-komunal) sebagaimana terkristalisasi dalam Pancasila dan hukum adat. Implikasinya, solusi atas krisis ini tidak dapat ditemukan hanya dengan melakukan tambal sulam peraturan perundang-undangan semata, melainkan menuntut adanya penyesuaian mendasar pada nilai-nilai yang menjiwai hukum nasional itu sendiri.

 

Hukum Adat sebagai Hukum Asli Indonesia

Di tengah kegelisahan akan identitas hukum nasional, pandangan yang semakin menguat adalah perlunya kembali kepada akar hukum asli bangsa Indonesia, yaitu hukum adat (hukum adat). Hukum adat bukanlah sekadar kumpulan kebiasaan masa lalu, melainkan sebuah sistem hukum yang hidup (living law), yang telah eksis, tumbuh, dan berkembang di tengah masyarakat Nusantara jauh sebelum negara-bangsa Indonesia modern terbentuk. Ia merupakan hukum yang lahir dari rahim kebudayaan masyarakat setempat, mencerminkan pandangan dunia, sistem nilai, dan rasa keadilan komunitas-komunitas adat di seluruh kepulauan.

Hukum adat adalah kristalisasi dari nilai-nilai luhur, kearifan lokal (local wisdom), dan identitas budaya bangsa Indonesia yang beragam. Ia mengandung prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bersama yang unik, seperti komunalitas, religiusitas, musyawarah mufakat, dan keadilan restoratif, yang terbukti mampu menjaga harmoni sosial dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam selama berabad-abad. Oleh karena itu, rekonstruksi hukum nasional yang sesungguhnya haruslah berakar pada hukum adat. Menjadikan hukum adat sebagai fondasi dan sumber materiil utama dalam pembangunan hukum nasional diyakini akan menghasilkan sebuah sistem hukum yang otentik, berjiwa Indonesia, dan mampu mewujudkan keadilan substantif yang sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.

 

Pancasila dan UUD 1945 sebagai Mandat Konstitusional

Gagasan untuk merekonstruksi hukum nasional berbasis hukum adat bukanlah sekadar romantisme historis atau aspirasi kultural semata, melainkan memiliki landasan filosofis dan yuridis yang kokoh dalam konstitusi negara. Pancasila, sebagai dasar negara (Philosophische Grondslag) dan ideologi bangsa (Staatsidee), menempati kedudukan sebagai norma dasar fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yang berada di puncak hierarki norma hukum Indonesia. Secara eksplisit, peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Konsekuensinya, seluruh produk hukum nasional, termasuk upaya rekonstruksi hukum, harus bersumber dari, dijiwai oleh, dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelima sila Pancasila.

Di samping Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juga memberikan mandat konstitusional yang jelas bagi rekonstruksi hukum nasional berbasis hukum adat. Pertama, Aturan Peralihan UUD 1945, khususnya Pasal I dan II, secara historis berfungsi sebagai jembatan hukum untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) pada masa awal kemerdekaan dengan menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada (termasuk hukum kolonial) masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Namun, klausul “selama belum diadakan yang baru” ini sejatinya tidak dapat diartikan sebagai legitimasi untuk melestarikan hukum kolonial secara permanen. Sebaliknya, dalam semangat kemerdekaan dan pembangunan hukum nasional yang mandiri, Aturan Peralihan harus dibaca sebagai mandat aktif bagi negara untuk segera melakukan dekolonisasi hukum dan mengganti peraturan warisan penjajah dengan hukum nasional yang baru. Kegagalan untuk melaksanakan mandat ini secara penuh dan konsekuen selama berpuluh-puluh tahun pasca kemerdekaan dapat dipandang sebagai salah satu akar penyebab berlarut-larutnya krisis identitas hukum nasional saat ini. Kelanjutan penggunaan hukum Belanda bukanlah sekadar keadaan transisi yang wajar, melainkan dapat dianggap sebagai sebuah kelalaian konstitusional dalam menuntaskan agenda pembangunan hukum nasional sebagai bagian integral dari pembangunan karakter bangsa (nation building).

Kedua, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya. Pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan ini diperkuat oleh Pasal 28I ayat (3) yang menjamin penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Kedua pasal ini memberikan landasan konstitusional yang kuat untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber penting dalam pembentukan hukum nasional, khususnya dalam bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kehidupan MHA, seperti hukum agraria.

Dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 secara bersama-sama menyediakan fondasi normatif dan filosofis yang kokoh bagi urgensi pelaksanaan rekonstruksi hukum nasional Indonesia dengan menjadikan hukum adat sebagai basis utamanya.

Sumber : DISINI



Hukum Nasional Berbasis Kearifan Lokal

Sistem hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap kurang penting dibandingkan dengan sistem hukum nasional yang lebih formal dan terstruktur. Berikut beberapa poin yang menjelaskan situasi ini:

Hukum Adat:

Hukum adat di Indonesia sangat beragam dan tidak dikodifikasi secara formal. Hukum ini hidup dan berkembang dalam masyarakat adat tertentu dan sering kali hanya dikenal dan diterapkan secara lokal. Karena tidak adanya kodifikasi, hukum adat sulit diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional yang lebih formal.

Hukum Agama:

Di Indonesia, hukum agama yang telah dikompilasi secara resmi adalah hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) digunakan sebagai pedoman dalam pengadilan agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan, warisan, dan wakaf. Hukum agama lainnya belum mendapatkan perhatian yang sama dalam bentuk kodifikasi resmi.

Perlakuan sebagai “Anak Tiri”:

Hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap sebagai “anak tiri” karena kurangnya pengakuan dan integrasi dalam sistem hukum nasional. Hal ini disebabkan oleh dominasi sistem hukum Barat (Civil Law) yang diadopsi dari Belanda selama masa penjajahan. Sistem hukum ini lebih mengutamakan kodifikasi dan kepastian hukum yang tertulis, sehingga hukum adat yang bersifat dinamis dan tidak tertulis sering kali terpinggirkan.

Upaya Integrasi:

Ada upaya untuk mengintegrasikan hukum adat dan hukum agama ke dalam sistem hukum nasional. Misalnya, dalam beberapa kasus, pengadilan di Indonesia mempertimbangkan hukum adat dalam putusannya, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat.

Ada pula upaya restorative justice, namun menurut pandangan saya itu tidak tepat. Sistem Hukum Adat, Agama dan Nasional seharusnya berdiri sama tinggi sebagai Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia dan bukan untuk dilebur.

Sumber : DISINI


Revitalisasi Adat

Revitalisasi adat dan agama adalah upaya penting untuk menjaga dan memelihara harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa aspek yang relevan:

 

Pelestarian Budaya:

Revitalisasi adat membantu melestarikan kebudayaan lokal yang kaya dan beragam. Ini termasuk menjaga tradisi, bahasa, dan ritual yang telah diwariskandari generasi ke generasi.

Penguatan Identitas:

Dengan menghidupkan kembali adat dan agama, masyarakat dapat memperkuat identitas budaya mereka. Ini penting untuk membangun rasa kebanggaan dan solidaritas di antara anggota komunitas.

Keadilan Restoratif:

Dalam konteks hukum adat, revitalisasi dapat mendukung penerapan keadilan restoratif, di mana penyelesaian konflik dilakukan melalui mediasi dan rekonsiliasi, bukan hanya hukuman. Ini membantu menjaga keadilan dan harmonidalam masyarakat.

Pendidikan dan Kesadaran:

Revitalisasi adat dan agama juga melibatkan pendidikan dan peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas. Ini dapatdilakukan melalui program-program pendidikan dan kegiatan komunitas.

Peran Lembaga Adat:

Lembaga adat memainkan peran penting dalam proses revitalisasi ini. Mereka bertindak sebagai penjaga tradisi dan mediator dalam penyelesaian konflik,serta memastikan bahwa nilai-nilai adat tetap dihormati dan diterapkan.

Dengan mengintegrasikan adat dan agama dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dapat membangun fondasi yang kuat untuk menjaga harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan.

 

Sumber : DISINI

Selasa, 17 Juni 2025

Silaturrahmi Dewan Adat Kab. Sigi dengan Kapolres Sigi.


Silaturrahmi Dewan Adat Kab. Sigi dengan Kapolres Sigi. 

Oleh : SADRI Datupamusu

SIGI, 18 Juni 2025 — Dalam semangat mempererat sinergi antara Dewan adat dan institusi penegak hukum, Dewan Adat Kabupaten Sigi melakukan kunjungan silaturahmi ke Mapolres Sigi. Pertemuan yang berlangsung hangat ini dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Adat Kabupaten Sigi, Drs. H. Aries Singi, M.Si., dan diterima dengan penuh apresiasi oleh Kapolres Sigi, AKBP Kari Amsah Ritonga, S.H., S.I.K., M.H.

 

 

Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak membahas sejumlah hal strategis, termasuk harmonisasi antara aturan adat yang hidup di tengah masyarakat Sigi dengan hukum negara yang berlaku. Diskusi berlangsung dalam suasana saling menghormati, menegaskan pentingnya kolaborasi dalam mengatasi persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan secara bijaksana.

  

 

Ketua Dewan Adat, Drs. H. Aries Singi, menyampaikan bahwa masyarakat Sigi sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat, namun tetap menghormati supremasi hukum negara. Oleh karena itu, kerja sama antara Dewan Adat dan Polres menjadi krusial dalam menciptakan keseimbangan antara kearifan lokal dan kepastian hukum.


Sementara itu, Kapolres Sigi, AKBP Kari Amsah Ritonga, menyambut baik inisiatif ini dan menekankan pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan secara kolektif. “Kami menyadari betul peran strategis Dewan Adat dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Polri siap bersinergi untuk menciptakan kondisi yang aman, damai, dan kondusif di wilayah Kabupaten Sigi,” ungkapnya.

  


Pertemuan ini juga menghasilkan kesepahaman untuk terus memperkuat komunikasi dan koordinasi antar lembaga, termasuk dalam upaya mempertahankan kedaulatan wilayah adat dan menjaga stabilitas sosial.

Dengan berlangsungnya pertemuan ini, diharapkan terjalin hubungan yang semakin erat antara aparat penegak hukum dan lembaga adat dalam membangun Kabupaten Sigi yang aman, damai, dan berlandaskan nilai budaya yang luhur.

 


 Sumber : DISINI

۞ SEKRETARIAT SEMENTARA DEWAN ADAT KAB. SIGI ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞